Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Kamis, 27 September 2012

Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (Memoar Luka Seorang Muslimah)

Gambar diambil dari www.google.co.id

Penulis             : Muhidin M. Dahlan
Penerbit           : ScriPta Manent
Tebal                 : 261 halaman

Saat ini aku inginmemaparkan sebuah buku yang sebenarnya sudah cukup tua untuk dikatakan faktual. Ya, buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2003 ini sudah ramai diperbincangkan sejak lama tentu saja, tapi saya baru membacanya. Itu pun karena tak sengaja menemukan buku ini. Dengan niat awal ingin membuat resensi sederhana, akhirnya beralih menjadi membuat sebuah tulisan yang berdasar pada kebingungan. Kebingungan yang membuatku memikirkan banyak hal.

Terus terang membaca novel ini membuatku takut. Sebuah novel yang memaparkan dan menggambarkan banyaknya topeng-topeng putih bermerek moral dan Agama dibalik wajah-wajah busuk. Tentang politik, juga debat-debat masalah Tuhan yang membuatku (yang awam ini) membatu. Tak paham berbalik takut. Takut saat melihat kenyataan, bahwa hitam maupun putih sama-sama mengaku putih. Takut saat hitam dan putih sama-sama terlihat putih, terkadang sama-sama terlihat hitam.
 
Jika seorang awam ini boleh mengemukakan pendapatnya, aku lebih suka jika buku ini berjudul:
TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR
(Saat Keangkuhan dan Putus Asa Mencekik Manusia)

Tokoh Nidah Kirana (Kiran) dan Aku
Berawal pada sebuah pencarian akan Tuhan. Pertemuan dengan sebuah jalan. Berakhir pada kekecewaan.
Ya, kiran yang begitu bersemangat untuk beribadah kepada Allah kemudian bertemu dengan seorang laki-laki bernama Dahiri. Dahiri adalah seorang laki-laki anggota organisasi Islam garis keras (Katanya. Uhm, ya aku tidak mengerti apa itu organisasi islam garis keras).
Dahiri itulah yang mengantarkan Kiran hingga memasuki sebuah jamaah yang katanya ingin menegakan Dienul Islam di Indonesia). Dengan semangat yang besar, Kiran bergabung dengan mereka. Kiran memasuki jemaah yang pada akhirnya "dia anggap" membuatnya tersesat kedalam dunia narkoba dan seks bebas hingga novel itu usai.

Kesan yang tertangkap pada awal cerita, aku menangkap sebuah keangkuhan pada tokoh Kiran. Entahlah. Pada awal cerita tentang Kiran yang pada mulanya awam, kemudian menemukan semangat yang besar untuk beribadah kepada Allah. Tentang Kiran yang begitu gigih belajar Agama...tapi aku tak menangkap kesan itu.

Sekali lagi, aku malah menangkap sekelebat keangkuhan pada tokoh Kiran itu, dari awal cerita. Betapa dia seakan “mampu mengukur” rasa cinta yang dia miliki untuk-Nya, yang dia “anggap” besar. Dia begitu percaya diri dengan berbagai hal yang “dia anggap” amal. Bahkan dia mengatakan bahwa dia marah kepada Tuhan-nya yang telah menyianyiakan cintanya. Bukan dia marah yang ku persalahkan, aku hanya heran atas percaya dirinya yang begitu tinggi. Dia begitu yakin bahwa apa-apa yang dia lakukan “seolah-olah cukup” untuk membuktikan begitu besarnya rasa cinta yang dia miliki untuk Allah.

Lalu....
Kiran marah kepada Allah.
Kiran marah kepada Tuhannya. Kiran marah kepada Allah. Kiran marah kepada-Nya yang membuatnya memasuki sebuah "jamaah sesat". Kiran marah kepada Allah yang membuatnya mengetahui manusia-manusia busuk bertopeng moral dan agama. Kiran marah lalu menantang Tuhan dengan balik melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. 

Pikirku.......
"Kenapa Kiran harus marah?" 
"Kenapa dia tidak introspeksi diri? Melihat niatnya kembali...sudah lillah-kah, atau belum? Kenapa dia marah kepada Allah?"
"Kenapa Kiran malah berbalik meninggalkan Allah, bukan kembali bersujud atas semua kebingungan yang dia hadapi lalu sedikit bersabar?"
"Mengapa dia memilih masuk lebih dalam kedalam kegelapan dan menambah jelaga-jelaga dosa, bukannya mencoba sekali lagi untuk bangkit?"
"Mengapa Kiran putus asa dari rahmat Allah?"
"Mengapa Kiran marah kepada Allah seakan jalan hidup yang dia pikirkan lebih baik dari skenario yang telah Allah tuliskan?"
"Mengapa Kiran marah kepada Allah?"... itu yang tak bisa ku mengerti...

uhm... atau bisa sedikit kumengerti? ('.')?
Ya, ku akui sebuah keputusasaan dapat berujung pada kemarahan yang cukup dasyat. Dapat membuat seseorang memilih untuk melompat ke dasar jurang, lebih memilih untuk mati dan membusuk. Tapi menurutku juga... "Marah kepada Allah" hanyalah sebuah kalimat pembenaran dari sebuah KEENGGANAN untuk bertobat, memperbaiki diri, menjauhi larangan Allah, dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Itu menurutku.

Tentang Penulis dan Kebingunganku
Kali ini tentang dunia kepenulisan.
Muhidin M. Dahlan atau biasa disapa Gus Muh ini begitu bebas menggambarkan segala sesuatunya dalam novel ini, bahkan hal-hal yang cenderung tabu pun dia paparkan dengan cukup jelas. Aku baca  pengakuannya pada beberapa lembar di halaman belakang novel, penulis mengatakan bahwa dia hanya ingin jujur dalam menulis. Ya, novel ini pun diambil dari kisah nyata berdasarkan wawancara dan pencarian data yang mendalam. Penulis juga mengatakan bahwa kita jangan menyalahkan novel ini atas terseretnya beberapa orang kepada pemikiran-pemikiran yang menyimpang, karena iman yang kuat tidak akan terpengaruh oleh sebuah novel kecil. Itu katanya. Sejurus kemudian aku cukup bingung, apakah ku memilih sepaham atau menentang.

Akhirnya (setelah ku ketik, ku hapus, ku ketik lagi) aku memutuskan untuk tidak sepaham dengan gaya kepenulisan Gus Muh. Gaya kepenulisan yang cukup menjudge dan memvonis.
Memang banyak kelicikan dan topeng-topeng di luar sana. Banyak kemunafikan bertebaran bersama udara. Aku pun bukannya menentang kejujuran, hanya saja...... ku pikir tugas kita di dunia ini bukanlah untuk membuka-buka aib orang lain. Toh kita juga manusia, manusia yang memiliki sejarah dosa dan khilaf. 
Uhm, bukan itu inti masalahnya!
"Mungkinkah penulis tak memiliki maksud jahat, dia hanya menyimbolkan apa-apa yang ada dalam kepalanya?"
"Penulis hanya memaparkan kebenaran yang dia yakini?" atau...
"Itu sebenarnya adalah perjalanan penulis dalam pencariannya?"
Ah, semakin kubuat pusing diri sendiri.

Tentang benar dan salah, kali ini aku mengatakan salah... karena ku tak sepaham dengan ide-ide yang penulis paparkan dalam cerita juga vonis-vonis atas tokoh-tokoh yang ada. Aku juga tak setuju dengan penggambaran secara detail tentang hal-hal tabu (seks) karena dapat memancing imajinasi pembaca hingga memikirkan hal-hal kotor. 
Meskipun penulis mengatakan bahwa iman yang kuat tak akan tergoyahkan oleh sebuah novel, tapi kita harus sadar diri bahwa kita manusia: iman naik turun, memiliki nafsu, dan ada setan yang terus mengganggu. Sebagai manusia lebih baik kita tolong-menolong dalam kebenaran dan kesabaran bukan?

Tapi semua orang berproses...
Dia berproses, aku berproses, kamu berproses, kami, kita, kalian... lebih baik kita kembalikan semua kepada Allah Swt. Berdo'a dan memohon selalu, agar diri ini berada pada jalan-Nya. Jika tersesat, semoga Allah mengembalikan diri yang hina ini kembali pada ridha-Nya.

*Umar bin Khatab dulunya adalah salah satu musuh besar Rasulullah, tapi pada akhirnya Allah menjadikan dia salah satu sahabat Rasulullah yang dicintai-Nya.

Tentang aku, kamu, dia, kita, kami, mereka... hanya bisa berusaha, berharap, meratap demi ridha-Nya. Karena hanya atas kehendak-Nya-lah diri-diri yang hina ini ditunjukan pada kebenaran atau justru disesatkan dari kebenaran itu. Allah tidak zalim, tapi Dia maha tahu hati manusia.

4 komentar:

  1. nice review
    saya berencana membaca novel ini, namun begitu banyak kontroversi yang muncul di internet tentang karya ini, setidaknya tulisan anda membantu saya mendapat gambaran sebelum membaca buku ini
    thanks

    BalasHapus