Penerbit :
ScriPta Manent
Tebal :
261 halaman
Saat
ini aku inginmemaparkan sebuah buku yang sebenarnya sudah cukup tua untuk
dikatakan faktual. Ya, buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2003 ini sudah
ramai diperbincangkan sejak lama tentu saja, tapi saya baru membacanya. Itu pun
karena tak sengaja menemukan buku ini. Dengan
niat awal ingin membuat resensi sederhana, akhirnya beralih menjadi membuat
sebuah tulisan yang berdasar pada kebingungan. Kebingungan yang membuatku
memikirkan banyak hal.
Terus terang membaca novel ini
membuatku takut. Sebuah novel yang memaparkan dan menggambarkan banyaknya
topeng-topeng putih bermerek moral dan Agama dibalik wajah-wajah busuk. Tentang
politik, juga debat-debat masalah Tuhan yang membuatku (yang awam ini) membatu.
Tak paham berbalik takut. Takut saat melihat kenyataan, bahwa hitam maupun
putih sama-sama mengaku putih. Takut saat hitam dan putih sama-sama terlihat
putih, terkadang sama-sama terlihat hitam.
Jika seorang awam ini boleh
mengemukakan pendapatnya, aku lebih suka jika buku ini berjudul:
TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR
(Saat Keangkuhan dan Putus Asa
Mencekik Manusia)
Tokoh Nidah Kirana (Kiran) dan Aku
Berawal pada sebuah pencarian akan Tuhan. Pertemuan
dengan sebuah jalan. Berakhir pada kekecewaan.
Ya, kiran yang begitu bersemangat untuk beribadah
kepada Allah kemudian bertemu dengan seorang laki-laki bernama Dahiri. Dahiri
adalah seorang laki-laki anggota organisasi Islam garis keras (Katanya. Uhm, ya
aku tidak mengerti apa itu organisasi islam garis keras).
Dahiri itulah yang mengantarkan Kiran hingga memasuki
sebuah jamaah yang katanya ingin menegakan Dienul Islam di Indonesia). Dengan
semangat yang besar, Kiran bergabung dengan mereka. Kiran memasuki jemaah yang
pada akhirnya "dia anggap" membuatnya tersesat kedalam dunia narkoba
dan seks bebas hingga novel itu usai.
Kesan yang tertangkap pada awal
cerita, aku menangkap sebuah keangkuhan pada tokoh Kiran. Entahlah. Pada awal
cerita tentang Kiran yang pada mulanya awam, kemudian menemukan semangat yang
besar untuk beribadah kepada Allah. Tentang Kiran yang begitu gigih belajar
Agama...tapi aku tak menangkap kesan itu.
Sekali lagi, aku malah menangkap
sekelebat keangkuhan pada tokoh Kiran itu, dari awal cerita. Betapa dia seakan
“mampu mengukur” rasa cinta yang dia miliki untuk-Nya, yang dia “anggap” besar.
Dia begitu percaya diri dengan berbagai hal yang “dia anggap” amal. Bahkan dia
mengatakan bahwa dia marah kepada Tuhan-nya yang telah menyianyiakan cintanya.
Bukan dia marah yang ku persalahkan, aku hanya heran atas percaya dirinya yang
begitu tinggi. Dia begitu yakin bahwa apa-apa yang dia lakukan “seolah-olah
cukup” untuk membuktikan begitu besarnya rasa cinta yang dia miliki untuk
Allah.
Lalu....
Kiran marah kepada Allah.
Kiran marah kepada Tuhannya. Kiran marah kepada Allah.
Kiran marah kepada-Nya yang membuatnya memasuki sebuah "jamaah
sesat". Kiran marah kepada Allah yang membuatnya mengetahui
manusia-manusia busuk bertopeng moral dan agama. Kiran marah lalu menantang
Tuhan dengan balik melakukan apa-apa yang dilarang-Nya.
Pikirku.......
"Kenapa Kiran harus marah?"
"Kenapa dia tidak introspeksi diri? Melihat
niatnya kembali...sudah lillah-kah, atau belum? Kenapa dia marah kepada Allah?"
"Kenapa Kiran malah berbalik meninggalkan Allah,
bukan kembali bersujud atas semua kebingungan yang dia hadapi lalu sedikit
bersabar?"
"Mengapa dia memilih masuk lebih dalam kedalam
kegelapan dan menambah jelaga-jelaga dosa, bukannya mencoba sekali lagi untuk
bangkit?"
"Mengapa Kiran putus asa dari rahmat Allah?"
"Mengapa Kiran marah kepada Allah seakan jalan
hidup yang dia pikirkan lebih baik dari skenario yang telah Allah
tuliskan?"
"Mengapa Kiran marah kepada Allah?"... itu
yang tak bisa ku mengerti...
uhm... atau bisa sedikit kumengerti? ('.')?
Ya, ku akui sebuah keputusasaan dapat berujung pada
kemarahan yang cukup dasyat. Dapat membuat seseorang memilih untuk melompat ke
dasar jurang, lebih memilih untuk mati dan membusuk. Tapi menurutku juga...
"Marah kepada Allah" hanyalah sebuah kalimat pembenaran dari sebuah KEENGGANAN
untuk bertobat, memperbaiki diri, menjauhi larangan Allah, dan menjalankan
perintah-perintah-Nya. Itu menurutku.
Tentang Penulis dan Kebingunganku
Kali ini tentang dunia kepenulisan.
Muhidin M. Dahlan atau biasa disapa Gus Muh ini begitu
bebas menggambarkan segala sesuatunya dalam novel ini, bahkan hal-hal yang
cenderung tabu pun dia paparkan dengan cukup jelas. Aku baca pengakuannya
pada beberapa lembar di halaman belakang novel, penulis mengatakan bahwa dia
hanya ingin jujur dalam menulis. Ya, novel ini pun diambil dari kisah nyata
berdasarkan wawancara dan pencarian data yang mendalam. Penulis juga mengatakan
bahwa kita jangan menyalahkan novel ini atas terseretnya beberapa orang kepada
pemikiran-pemikiran yang menyimpang, karena iman yang kuat tidak akan
terpengaruh oleh sebuah novel kecil. Itu katanya. Sejurus kemudian aku cukup
bingung, apakah ku memilih sepaham atau menentang.
Akhirnya (setelah ku ketik, ku hapus, ku ketik lagi)
aku memutuskan untuk tidak sepaham dengan gaya kepenulisan Gus Muh. Gaya
kepenulisan yang cukup menjudge dan memvonis.
Memang banyak kelicikan dan topeng-topeng di luar
sana. Banyak kemunafikan bertebaran bersama udara. Aku pun bukannya menentang
kejujuran, hanya saja...... ku pikir tugas kita di dunia ini bukanlah untuk
membuka-buka aib orang lain. Toh kita juga manusia, manusia yang memiliki
sejarah dosa dan khilaf.
Uhm, bukan itu inti masalahnya!
"Mungkinkah penulis tak memiliki maksud jahat,
dia hanya menyimbolkan apa-apa yang ada dalam kepalanya?"
"Penulis hanya memaparkan kebenaran yang dia
yakini?" atau...
"Itu sebenarnya adalah perjalanan penulis dalam
pencariannya?"
Ah, semakin kubuat pusing diri sendiri.
Tentang benar dan salah, kali ini aku mengatakan
salah... karena ku tak sepaham dengan ide-ide yang penulis paparkan dalam
cerita juga vonis-vonis atas tokoh-tokoh yang ada. Aku juga tak setuju dengan
penggambaran secara detail tentang hal-hal tabu (seks) karena dapat memancing
imajinasi pembaca hingga memikirkan hal-hal kotor.
Meskipun penulis mengatakan bahwa iman yang kuat tak
akan tergoyahkan oleh sebuah novel, tapi kita harus sadar diri bahwa kita
manusia: iman naik turun, memiliki nafsu, dan ada setan yang terus mengganggu.
Sebagai manusia lebih baik kita tolong-menolong dalam kebenaran dan kesabaran
bukan?
Tapi semua orang berproses...
Dia berproses, aku berproses, kamu berproses, kami,
kita, kalian... lebih baik kita kembalikan semua kepada Allah Swt. Berdo'a dan
memohon selalu, agar diri ini berada pada jalan-Nya. Jika tersesat, semoga
Allah mengembalikan diri yang hina ini kembali pada ridha-Nya.
*Umar bin Khatab dulunya adalah salah satu musuh
besar Rasulullah, tapi pada akhirnya Allah menjadikan dia salah satu sahabat
Rasulullah yang dicintai-Nya.
Tentang aku, kamu, dia, kita, kami, mereka... hanya
bisa berusaha, berharap, meratap demi ridha-Nya. Karena hanya atas
kehendak-Nya-lah diri-diri yang hina ini ditunjukan pada kebenaran atau justru
disesatkan dari kebenaran itu. Allah tidak zalim, tapi Dia maha tahu hati
manusia.
nice review
BalasHapussaya berencana membaca novel ini, namun begitu banyak kontroversi yang muncul di internet tentang karya ini, setidaknya tulisan anda membantu saya mendapat gambaran sebelum membaca buku ini
thanks
Rip jgn bgt hdp mu
HapusRip jgn bgt hdp mu
HapusIni cuma buku yg aku baca kok.
BalasHapus